Para ulama berselisih pendapat
tentang basmallah pada awal surat-surat di dalam al-Qur‘an, apakah termasuk
al-Qur‘an dan termasuk surat itu, ataukah tidak? Yang rajih (lebih kuat)
–wallahu a’lam– bahwa basmallâh pada awal semua surat di dalam al-Qur‘an termasuk
ayat al-Qur‘an, karena telah ditetapkan dan ditulis di dalam mushhaf. Dan umat
juga telah sepakat, bahwa semua yang ditulis para sahabat di antara dua sampul
mushhaf itu adalah al-Qur‘an.[1] Dan juga (pendapat yang rajih),
bahwa basmallâh di awal surat itu tidak termasuk bagian dari surat
tersebut, termasuk pada basmallâh surat al-Fatihah. Sehingga ayat
pertama dalam surat al-Fatihah adalah الْـحَمْدُ لِلَّهِ رِبِّ الْعَالَمِيْنَ sedangkan
ayat keenam adalah صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ, dan ayat ketujuh adalah غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَ لاَ الضَّآلِّيْنَ.
Para ulama juga berselisih, apakah
imam mengeraskan basmallâh ketika dalam shalat jahriyah? Dalam permasalahan ini
terdapat dua pendapat.[2] Pertama, disunnahkan dibaca pelan. Ini
merupakan pendapat Khulafaur Rasyidin: Abu Bakar, Umar, ‘Utsman, Ali, dan
sahabat Ibnu Mas’ud, Ibnu Zubair, dan ‘Ammar radhiyallâhu'anhum. Juga
pendapat al Auza’i, Sufyan ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Hanabilah dan Ash-habur
Ra’yi. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Begitu pula dengan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullâh, beliau memilih pendapat ini.
Kedua,
disunnahkan dibaca keras. Pendapat ini masyhur sebagai pendapat Imam Syafi’i.
Yang rajih (kuat) adalah pendapat pertama, karena
dalil-dalilnya shahih dan tegas. Adapun pendapat kedua, sebagian dalilnya
dha’if, sedangkan yang shahih tidak sharih (tegas) menunjukkan pendapat
tersebut.
Berikut ini di antara dalil pendapat pertama :
Dari Anas bin Malik, bahwa Nabi Shallallâhu 'Alaihi
Wasallam, Abu Bakar, dan
Umar, (dan ‘Utsman), mereka semua membuka shalat dengan الْـحَمْدُ لِلَّهِ رِبِّ الْعَالَمِيْنَ. (HR Bukhari, no. 743; Muslim, no. 399; tambahan “dan Utsman” pada riwayat Tirmidzi, no. 246)
Umar, (dan ‘Utsman), mereka semua membuka shalat dengan الْـحَمْدُ لِلَّهِ رِبِّ الْعَالَمِيْنَ. (HR Bukhari, no. 743; Muslim, no. 399; tambahan “dan Utsman” pada riwayat Tirmidzi, no. 246)
Setelah meriwayatkan hadits ini,
Imam Tirmidzi rahimahullâh mengatakan: “Amalan ini dilakukan oleh para sahabat
nabi radhiyallâhu'anhum, dan para tabi’in setelah mereka. Mereka membuka bacaan
dengan الْـحَمْدُ
لِلَّهِ رِبِّ الْعَالَمِيْنَ. Tetapi (Imam) Syafi’i berkata : ’Makna
hadits ini adalah, bahwa Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, Abu Bakar, Umar,
dan ‘Utsman, mereka semua membuka bacaan (shalat) dengan membaca al-Fatihah
sebelum surat. Dan maknanya, bukanlah mereka tidak membaca . (Imam) Syafi’i
berpendapat, (imam) memulai dengan dan mengeraskannya,
jika dia mengeraskan bacaan’.” (Sunan Tirmidzi, no. 246)
Akan tetapi, pendapat Imam Syafi’i
rahimahullâh ini terbantahkan dengan riwayat lain, yang menegaskan bahwa mereka
itu benar-benar memulai bacaan dengan hamdallah, dan tidak dengan basmallah. Yaitu
tambahan yang ada pada riwayat Imam Muslim :
Dan mereka tidak menyebutkan pada awal bacaan (al
Fatihah, Red),
dan tidak pula pada akhir bacaan (al Fatihah, yaitu awal surat setelahnya, Red)
(HR Muslim, no. 399)
dan tidak pula pada akhir bacaan (al Fatihah, yaitu awal surat setelahnya, Red)
(HR Muslim, no. 399)
Juga pada riwayat yang lain, lebih tegas lagi
disebutkan :
Dari Anas bin Malik, dia berkata: “Aku shalat bersama Rasûlullâh Shallallâhu
'Alaihi Wasallam, dan bersama Abu Bakar, Umar, ‘Utsman. Aku tidak mendengar seorangpun dari mereka
membaca .” (HR Muslim, no.
399)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullâh, setelah menjelaskan masalah ini secara panjang lebar, dan memilih
bahwa menurut Sunnah adalah membaca basmallah dengan pelan, beliau rahimahullâh
berkata: “Bersamaan dengan ini, maka yang benar (bacaan) yang tidak dikeraskan.
Terkadang disyari’atkan untuk dikeraskan, karena mashlahat yang lebih kuat.
Maka terkadang disyari’atkan bagi imam (mengeraskannya, Red) sebagai misal
untuk pengajaran kepada makmum. Dan terkadang makmum boleh mengeraskan dengan
sedikit kalimat. Seseorang juga boleh meninggalkan sesuatu yang lebih utama
untuk merekatkan hati-hati (manusia) dan menyatukan kalimat, karena takut
menjauhnya (manusia) dari hal yang baik”. (Majmu’ Fatawa, 22/436)
Perlu juga kita pahami, adanya
perselisihan dalam masalah ini tidak boleh dibesar-besarkan, yang kemudian
dapat menjadi sebab kebencian dan perpecahan umat. Wallahu a’lam.
(Referensi: Majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun X)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar